Pinnocchio Effect
Menurut sebuah studi, orang yang suka berbohong akan mengalami “Pinocchio Effect”
Oleh: Edhie Prayitno Ige
(Budayawan)
PINOCCHIO atau Pinokio awalnya sebuah boneka kayu yang dibuat oleh pemahat Geppeto. Ia berubah menjadi anak laki-laki lewat bantuan peri. Dalam petualangannya sebagai anak laki-laki, ia memiliki karakter nakal dan suka berbohong.
Setiap kali berbohong, bertambah panjanglah hidung Pinokio. Ia gelisah. Singkat cerita, endingnya ia menyesal karena ulahnya itu. Tak lagi berbohong kepada Geppeto dan siapa pun. Akhirnya, ia menjadi anak laki-laki nyata yang baik.
Di dunia nyata, menurut sebuah studi, orang yang suka berbohong akan mengalami “Pinocchio Effect”. Terjadi perubahan suhu di bagian seputar hidung hingga sudut dalam pojok matanya, tulis Stephen J Costello dalam bukunya The Truth About Lying.
Bisa kita buktikan, termasuk ketika membohongi diri sendiri dengan motivasi menghibur diri dan menciptakan ketenangan. Misalnya sedang jatuh tempo cicilan tapi gaji belum cair.
Yang seru, bohong ternyata bukan perbuatan pidana. Kecuali dimaksudkan untuk keuntungan pribadi. Seperti ditulis dalam konsultasi hukum online yang saya screenshot.
“Hidup adalah kebohongan, setengah kebenaran dan pengelakan. Kita hidup di zaman ketika kepercayaan adalah ‘mata uang’ yang sulit. Kita dibohongi setiap hari oleh media, pengiklan, pasangan, teman, rekan kerja, politisi,” kata Costello.
Mengapa berbohong atau praktik tercela itu dipilih atau diambil seseorang dalam keputusan dirinya? Banyak faktor. Bisa jadi karena upaya menyelamatkan diri, mengamankan citra, atau faktor tekanan dari luar dirinya.
Namun, pada dasarnya, sebagian besar orang baik anak-anak maupun dewasa termotivasi untuk berbohong karena alasan yang sama, hanya isinya yang berbeda.
Secara leksikal, menurut kamus daring Merriam Webster, bohong (lie: kata benda) diartikan sebagai sebuah tindakan berbohong. Berbohong (kata kerja) memiliki arti (1) membuat pernyataan tidak benar dengan maksud menipu dan (2) membuat kesan salah atau menyesatkan.
Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring memaknai bohong sebagai (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta dan (2) bukan yang sebenarnya; palsu.
Dalam The Truth About Lying (2022) Profesor Victoria Talwar dari Departemen Psikologi Pendidikan dan Konseling, Universitas McGill, menyebut bahwa secara umum kebohongan terjadi karena alasan dari mementingkan diri sendiri hingga altruistik.
Orang yang terbiasa berbohong, cenderung akan terus berbohong. Karena ia menganggap hal ini sebagai bentuk kewajaran. Mirip korupsi, awalnya kecil-kecilan, tidak ketahuan, dan menjadi biasa. Lama-lama, ia menjadi candu dan terbiasa mewajarkan tindakan dirinya sendiri (rasionalisasi).
Lalu, apakah saya masih juga berbohong? Ya. Hasil introspeksi menunjukkan bahwa saya adalah pembohong. Tentu kadar bohongnya berbeda dengan orang lain. Pembedanya adalah ada yang membohongi seluruh dunia, seluruh warga negara. Sementara saya paling parah adalah membohongi diri sendiri dengan tujuan menghibur diri.[]